ANALOMI HIMIESPA

PANDEMI COVID-19: MENAKAR  STABILITAS EKONOMI SULAWESI TENGAH


PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH
Virus corona (Covid-19) beberapa pekan telah meluluhlantakkan perekonomian dunia tanpa terkecuali Indonesia. Di Indonesia central penyebaran covid-19 berada di Provinsi DKI Jakarta (Ibu Kota Negara), dengan tingkat kasus tertinggi yang mencapai 3.032 kasus positif (data per 19 april 2020) (liputan6.com) dan setiap Provinsi di Indonesia memiliki jumlah kasus. Salah satunya Provinsi Sulawesi Tengah dengan jumlah kasus 27 positif (data per 19 april 2020) (jurnalnews.id). Jika dilihat dari aspek perekonomian Provinsi Sulawesi Tengah  yang di ukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp166,40 triliun dan atas dasar harga konstan Tahun 2010 mencapai Rp110,00 triliun. 
Ekonomi Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2019 tumbuh 7,15 persen, melaju dibandingkan Tahun 2018 yang sebesar 6,28 persen. Seperti kita ketahui bahwa salah satu penopang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Tengah terbesar dari sisi produksi adalah disektor pertambangan dan penggalian sebesar 16.27 persen. Dari sisi pengeluaran penopang terbesar PDRB adalah komponen PMTB sebesar 20,35 persen. Namun, struktur perekonomian Sulawesi Tengah menurut lapangan usaha tahun 2019, masih di dominasi oleh empat lapangan usaha utama yaitu; Pertanian,  Kehutanan dan Perikanan (25,96 persen); disusul pertambangan dan penggalian (15.13 persen); industri pengolahn (13,01 persen), serta konstruksi (12,63 persen). Di sisi pengeluaran struktur PDRB msih di dominasi oleh komponen ekspor yang mencakup lebih dari separuh PDRB Sulawesi Tengah yaitu sebesar 51,71 persen, di ikuti oleh komponen PK-RT sebesar 47,95 persen dan komponen PMTB sebesar 43,18 persen (Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah,2020).
 Pertimbangan ekonomi yang tidak tuntas, melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak pasti. Ini dikarenakan basis data yang tidak satu. Saat di Jakarta sudah diberlakukan PSBB, di Sulawesi Tengah belum dilaksanakan. Padahal kalau dilihat dari kapasitas fasilitas kesehatan, semestinya kita secepatnya memberlakukan itu. Bencana gempa bumi kemarin, bukan jadi pembelajaran, justru malah jadi bukti ketidaksiapan ke penanganan bencana.

INFLASI
Inflasi akan selalu ada dan  Inflasi berpotensi mengurangi daya beli masyarakat. Inflasi sebuah negara atau wilayah dapat dikatakan terjaga baik apabila tingkat inflasi sebesar 3-4 persen dan pertumbuhan ekonomi 5-7 persen. Pada tahun 2020 Inflasi di Sulteng sebesar 2,45 persen dan pertumbuhan ekonominya sebesar 7.15 persen. Adapun beberapa perbandingan inflasi yg trjadi di beberapa Kota bagian Sumapua (Sulawesi, Maluku, dan Papua). Tingkat inflasi Kota Palu sebesar 0,83 persen lebih tinggi dibanding Kota Mamuju sebesar 0,70 persen, Kota Monokwari 0,68 persen, Kota Sorong 0,66 persen dan Kota Jayapura 0,66 persen. Namun, tingkat inflasi Kota Palu lebih rendah dibandingkan dengan Kota Merauke dengan tingkat inflasi sebesar 0,86 persen dan Kota Baubau 0,92 persen. Adapun inflasi terendah pada Kota Watampone sbesar 0.01 persen. Menurut penulis Tingginya angka Inflasi Kota Palu dikarenakan perekonomian Kota Palu belum sepenuhnya pulih akibat bencana alam yang melanda Kota Palu tahun 2018 silam. Untuk menjaga daya beli masyarakat agar stabil ditengah Pandemic Covid-19, Pemerintah Kota Palu melalui tim pengendali Inflasi, harus melakukan kontrol yang ketat terhadap harga-harga barang kepada para pedagang dan menjamin ketersediaan supply bahan makanan, karena salah satu penyebab terjadinya inflasi yakni demand pull inflation sementara disisi supply tetap atau bahkan menurun.

 KEMISKINAN
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Data Kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tengah di lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Jumlah kemiskinan di Sulawesi Tengah tahun 2020, yakni 404,03 jiwa (Badan Pusat Statistik 2020). Ditengah Pandemic Covid-19 beberapa pendapat dari pengamat ekonomi, bahwa kemiskinan di Sulawesi Tengah akan terus bertambah sejalan dengan banyaknya jumlah PHK dari berbagai perusahaan dan banyaknya jumlah penduduk Sulawesi Tengah yang hidup tepat digaris kemiskinan.

EKSPOR-IMPOR.
- EKSPOR
Sulawesi Tengah merupakan satu dari 34 Provinsi di Indonesia yang memiliki nilai ekspor terbesar. Adapun negara tujuan ekspor adalah Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Tiongkok, Thailand, Malaysia, Vietnam, India, Bangladesh dan Italia dengan total ekspor sebesar US$512,90 juta. Adapun komoditi ekspor terbesar dari besi dan baja yakni sebesar US$418, 82 Juta atau 81, 65 persen dari total nilai ekspor serta bahan bakar mineral sebesar US$71,44 juta atau 13,92 persen dari total nilai ekspor.
- IMPOR
Impor Sulawesi Tengah dari 10 negara asal adalah Jepang, Korsel, Tiongkok, Malaysia, Vietnam, Afrika Selatan, Australia, Finlandia, Kazakhstan dan Rusia dengan total nilai US$ 216,99 Juta. Adapun komoditi Impor terbesar adalah mesin dan pesawat mekanik senilai US$97,16 juta atau 44,77 persen, besi dan baja senilai US$29,65 juta atau 13,66 persen. 
Tingkok merupakan negara tujuan utama ekspor senilai US$231,65 juta atau 45,16 persen dari total nilai ekspor Sulawesi Tengah dan negara asal impor Sulawesi Tengah juga adalah Tiongkok sebagai mitra dagang dengan total nilai impor sebesar US$173,73 atau 80,98 persen dari total nilai impor.
Ditengah Pandemi Covid-19, Ekspor dan impor Sulawesi Tengah terhadap negara dagang terutama Tiongkok akan terganggu. Jika negara tirai bambu tersebut melakukan pembatasan wilayah, mengurangi produk impor atau melakukan lockdown, maka terjadi penurunan nilai ekspor di Sulawesi Tengah dan ini akan berpengaruh pada neraca perdagangan Sulawesi Tengah. Begitupula sebaliknya terhadap barang-barang impor.

KETENAGAKERJAAN (TK)
Ketenagakerjaan yang menjadi salah satu dampak perekonomian saat ini. Diantaranya ada beberapa sektor yang paling terdampak yaitu:
- Sektor Pertanian, kehutanan dan perikanan. Sektor ini masih menjadi andalan dan merupakan penyumbang terbesar PDRB Sulawesi Tengah dengan persentase 24,33 persen, hampir seperempat kontribusinya terhadap PDRB Sulawesi Tengah. Ada 595.433 jiwa Tenaga kerja di sektor ini dan merupakan TK tertinggi dari 16 sektor lainnya. Jika pemerintah lambat mengantisipasi, akan terjadi penurunan TK di sektor ini, karena para petani beralih profesi, berdiam diri dirumah dan memilih untuk menganggur.

- Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor ini termasuk salah satu yang akan mengalami penurunan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja di sektor ini adalah 25.596 jiwa.

- Industri Pengolahan, Sektor ini memiliki jumlah TK sebesar 105.992 dan termasuk diantara sektor yang berpotensi untuk terjadinya penurunan tenaga kerja.

- Perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil dan motor (sektor ini diantaranya pedagang grosir, pemborong, perdagangan mobil dan motor, suku cadang, distributor, importir dan kantor penjualan) dengan jumlah TK 210.459 jiwa, juga akan terjadi penurunan TK.

-  Transportasi dan Pergudangan (sektor ini termsuk penyedia jasa pelabuhan, angkatan darat, logistik dan bandara) dengan jumlah TK sebanyak 40.069 jiwa, juga termsuk yang akan terjdi penurunan TK.
- Penyedia Akomodasi dan Penyedia Makan-minum (sektor ini termasuk Rumah makan, jasa catering, kedai kopi, bar,  warkop dll), dengan total TK 57.607 jiwa. Sektor ini juga akan terjadi Penurunan TK.

- Sektor Perhotelan, Imbas pandemi Corona (Covid-19) juga menggebuk sektor usaha di Sulawesi Tengah, salah satunya perhotelan. Tingkat hunian hotel di Sulteng rata-rata anjlok menjadi hanya 10 persen. Meski begitu, sejumlah opsi sedang dijalankan pelaku perhotelan di Sulawesi Tengah, demi menghindari PHK massal.
Dampak pandemi Covid-19 di Sulawesi Tengah rembes hingga ke sektor ekonomi. Virus itu menggebuk industri terutama setelah kebijakan pembatasan sosial, larangan berpergian, dan pembatasan akses masuk sejumlah daerah diberlakukan. Kondisi industri perhotelan di tengah pandemi Covid-19 itu juga seturut dengan lesunya kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Di daerah-daerah yang selama ini sohor sebagai lokasi wisata Sulawesi Tengah seperti Luwuk dan Togean di Tojo Unauna, sejak awal April persentase kunjungan telah 0 persen. Bahkan, di Kabupaten Tojouna, tidak ada lagi akomodasi yang dibuka untuk wisatawan.
Ini akan sangat sulit untuk industri perhotelan mempertahankan para karyawannya sebab seperti tempat wisata dan hotel sudah banyak yang mengalami penurunan yang cukup drastis sehingga banyak karyawan-karyawan yang terkena PHK atau dirumahkan ini akan menjadi tanggungan negara sebab mereka tidak lagi mendapat penghasilan dan imbasnya akan berunjuk pada ketimpangan sosial.

-  SektorIndustri Tekstil, Tidak dapat dielak lagi bahwa sektor industri tekstil sangat mengalami peningkatan ditengah pandemi Corona Covid-19 di Sulawesi Tengah, Banyaknya pesanan masker maupun  Alatpelindung diri (APD) yang diterima oleh perusahaan maupun industri rumahan membuat pelaku yang terlibat dalam usaha ini ditiban rezeki ditengah musibah yang melanda banyak negara didunia. Tingkat pesanan yang diterima dari hari ke hari mengalami peningkatan secara signifikan hal itu dikarenakan edaran pemerintah yang mewajibkan seluruh masyarakat untuk menggunakan masker pada saat keluar rumah dan juga terus meningkatnya ODP dan PDP dari hari ke hari. Dari data per 19 April 2020 kita dapat melihat terus terjadi peningkatan tiap harinya. Hal itu juga yang membuat Terus meningkatnya pesanan terhadapnAlat pelindung diri. Dengan terus meningkatnya jumlah permintaan ini bisa jadi mata pencaharian ditengah pandemi covid-19. Dan ini bisa jadi solusi untuk mengatasi tingkat pengangguran yang ada di Sulawesi Tengah.

Adapun total jumlah buruh dan karyawan di Sulawesi Tengah tahun 2020 yakni sebesar 477.571 jiwa, sementara jumlah pengangguran sebanyak 46.802 jiwa. Ketiga terakhir dari sektor yang penulis sebutkan diatas menjadi sektor yang paling merasakan langsung dampak pandemi covid-19. Menurut penulis jika rata-rata tingkat PHK 100 orang/hari  dan pandemi covid-19 diperkirakan selesai dibulan juni akhir, maka dalam waktu 4 bulan akan ada 12.000 orang yang kehilangan pekerjaannya di Sulawesi Tengah. Ini juga yang menjadi perhatian serius oleh pemerintah, selain upaya mencegah dan menanggulangi pandemi covid-19 sekaligus juga menyelamatkan perekonomian Sulawesi Tengah.

Kita ketahui angka pengangguran yang karena adanya peraturan Physical Distancing dan diputus hubungan kerja atau diberhentikan (PHK) di Sulawesi Tengah saat ini naik. Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Tengah, ada sebanyak 9.114 orang yang harus berada di rumah. Dari data itu, Kota Palu yang paling banyak sebesar 5.592 orang dan dirumahkan oleh perusahaan sebanyak 1.628 orang, serta sebanyak 10 orang yg di PHK.

Maka data itu kita bisa melihat dampak terhadap UMKM yang menopang ekonomi mikro yang di rumahkan karyawannya sebanyak 6.962 orang kalau di kota Palu sebanyak 3.964 orang atau sekitar 50 persen dari total keseluruhan di Sulawesi Tengah. Sehingga dampak covid-19 dapat dirasakan warga Sulawesi Tengah yaitu angka pengangguran tinggi, dan tingkatkan kriminalitas akan naik juga 

PENDEKATAN PRODUKSI DI SEKTOR PERTANIAN
Sulawesi Tengah merupakan wilayah yg sebagian besar perekonomiannya disokong oleh sektor pertanian, hal ini diliat dari kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Sulawesi Tengah. Sektor pertanian tidak dapat dipandang sebelah mata, hal ini karena sektor pertanian merupakan sektor yang berhubungan langsung dengan kebutuhan dasar manusia.
Penyebaran covid-19 yang telah memasuki Sulawesi Tengah tentunya menganggu sektor perekonomian mulai dari pariwisata, jasajasa hingga perdagangan. Lain halnya dengan pertanian yang justru bisa menjadi kekuatan Sulawesi Tengah, jika dapat dimanage dengan baik ditambah dengan kerjasama masyarakat Sulawesi Tengah itu sendiri, jika tidak ada justru sektor ini akan menjadi kelemahan.
 Salah satu yang paling mendasar dari kebutuhan manusia yaitu pangan dalam hal ini beras. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah (data per 15 april 2020), produksi beras di Sulawesi Tengah yakni 496.160,06 Ton. Jika kebutuhan masyarakat Sulawesi Tengah sebesar 135,15 kg perkapita pertahun (data 135,15 diambil dari proyeksi Bappeda Sulteng 2017), dengan jumlah penduduk sebesar 3.054.023, maka kebutuhan beras Sulawesi Tengah  sekitar 412.751 ton. Artinya, ada surplus beras sekitar 83.408 ton dan jumlah tersebut cukup untuk 3-4 bulan kedepan.
Dalam pertanian dalam referensi yang di baca wartaekonomi.co.id di situ disampaikan bahwa sektor pertanian dikatakan tangguh karena nilai dari ekspor pertanian meningkat pada bulan febuari seperti yang kita ketahui bahwa itu awal dari masuk covid - 19 kompas.com, kemudian dalam referensi liputan6.com di situ terkait dengan upaya dari pemerintah dalam menjaga stok bahan pangan pokok yang tentunya terkait dengan pertanian, salah satu kendala juga dalam sektor pertanian terkait dengan pemasarannya seperti contoh baru-baru ini berita viral seseorang pedagang yang dipukuli opnum saptol pp karena tidak bisa melewati jalan dalam lintas daerah yang terkait dengan pemasaran prodak pertanian. 

Sejak dinobatkan sebagai virus yang mematikan secara global oleh WHO yakni covid-19, sejauh ini telah mempengaruhi tingkat stabilitasasi ekonomi, khususnya Provinsi Sulteng.  Sektor pertanian  yang merupakan kekuatan Sulawesi Tengah tentunya sangat benar sekali, disebabkan karena sektor ini tidak ketergantungan terhadap ekspor-impor. Maka yang perlu diupayakan oleh pemerintah adalah menjaga stok bahan pangan dengan meningkatkan pengelolaan pada sub sektor hortikultura untuk dijadikan sumber mata pencaharian petani, kenapa penting? Karena sub sektor tersebut dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan jangka waktu panen yang relatif cepat serta merupakan kebutuhan dasar masyarakat pada umumnya. Dikutip dari Gema Sulawesi.com 
Menurut Kadis  Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulteng  bahwa provinsi Sulteng surplus 90 ribu ton beras dengan asumsi 118 kg per kapita. Ketersediaan tersebut bisa dipastikan sejauh ini masih kokoh, namun yang menjadi kekhawatiran adalah kondisi cuaca saat ini yang relatif tidak stabil dengan ancaman kekeringan yang bisa saja berakibat fatal terhadap gagal panen petani, tidak terkecuali  salah satu daerah basis pertanian tanaman pangan dan hortikultura di Kab. Sigi saat ini sangat memprihatinkan dengan kondisi kekeringan akibat rusaknya pengairan (irigasi Gumbasa).

HARGA BAHAN POKOK
Berdasarkan laporan dari antaranews sulteng dimana keadaan harga bahan pokok di sejumlah daerah di Sulawesi Tengah relatif stabil, walaupun ada juga yg mengalami lonjakan  harga. Gula, telur dan cabai menjadi komoditi yang mengalami lonjakan harga dikarenakan pasokan yang sebagian dari luar pulau Sulawesi berkurang karena dampak pandemi covid-19 berdasarkan hal itu beberapa hari kedepan menjelang bulan suci ramadhan keadaan harga bahan pokok tidak terlalu mengalami peningkatan karena pasokannya sebagian besar masih stabil apa lagi beras, dimana Sulawesi Tengah merupakan salah satu sentra produksi beras di Indonesia. Namun, hal ini patut kita waspadai menjelang minggu kedua  hingga menjelang lebaran pada bulan ramadahan akan mengalami kenaikan harga dikarenakan tingginya permintaan. Tetapi menurut pemerintah sendiri berdasarkan kutipan dari antaranews sulteng, bahwa pasokan bahan pokok dan lainnya masih relatif stabil hingga lebaran nanti.

TIM PENGKAJI ANALOMI HIMIESPA

Komentar